SOLOPOS.COM - Warga Papua saat menduduki rumah investor tambang emas di Jalan Merdeka Selatan No 54, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah (Jateng) Jumat (21/6/2024) sore. (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, SALATIGA – Sejumlah warga Papua hingga kini masih menduduki rumah investor atau pengusaha tambang emas di Jalan Merdeka Selatan No. 54, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah (Jateng), Jumat (21/6/2024). Meski pun dengan pengawalan anggota TNI dan Polri, para warga Papua itu tak mau meninggalan rumah milik pengusaha tambang Bernama Nicholas Nyoto Prasetyo.

Pantauan Solopos.com, sejumlah warga Papua itu masih duduk-duduk di teras rumah Nicholas. Mereka menanti kedatangan pengusaha tambang emas asal Salatiga itu untuk meminta kejelasan terkait hutan adat warga Papua itu yang rusak akibat penambangan.

Promosi Dukung Go Global, BRI Berangkatkan 8 UMKM ke FHA Food & Beverage 2024 Singapore

Perwakilan pemilik lahan di Papua, Marten Basaur, mengaku para warga Papua itu mendiami rumah Nicholas karena merasa dirugikan atas beroperasinya tambang di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua itu. Beroperasinya tambang itu diklaim menyebabkan kerusakan hutan adat milik Yohan Jasa.

“Mereka, tim Pak Nicholas membabat hutan adat tanpa izin. Awalnya, mereka menawarkan kerjas ama bagi hasil, tapi sebelum ada kesepakatan alat berat sudah datang dan membersihkan pohon pinang dan mangga serta lahan hutan,” terangnya saat ditemui Solopos.com di sekitar lokasi rumah investor tambang, Jumat (21/6/2024)

Marten menjelaskan warga Papua mengejar investor tambang di bawah Koperasi Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup bukan berniat jahat. Mereka hanya ingin mencari titik temu atau solusi dari permasalahan tersebut. Ia pun menyebut jika total lahan hutan adat yang rusak akibat penambangan mencapai 1,8 hectare.

“Saya datang menuntut keadilan karena semula dijanjikan ketemu di Jakarta tapi enggak jadi. Lalu, saya datang ke Salatiga. Itu, tanah milik kepala suku di Sawe Suma. Sebelumnya kami juga melapor ke Polres Jayapura,” katanya.

Mediasi

Marten menjelaskan, atas persoalan perusakan lahan hutan adat yang melibatkan perusahaan asal Kota Salatiga ini telah juga difasilitasi mediasi oleh Polres Salatiga tetapi hasilnya nihil. Namun karena tidak menemukan titik terang, pihaknya pun akan bertahan di Salatiga hingga persoalan tersebut tuntas.

“Kami mewakili pemilik lahan meminta ganti rugi senilai Rp20 miliar. Selain rusak, juga berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Kami, dituding ada pemukulan saat mediasi, semua itu tidak benar,” ujarnya.

Terpisah, Kapolres Salatiga, AKBP Aryuni Novitasari, mengungkapkan permasalahan kerusakan hutan adat di Papua yang melibatkan pengusaha atau investor tambang asal Salatiga telah ditempuh jalur mediasi. Diakuinya, selama di Salatiga proses mediasi telah dilakukan sebanyak dua kali pada Rabu (19/6/2024) dan Kamis (20/6/2024). Namun sampai saat ini belum tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.

“Kami berharap masalah ini tidak meluas. Kami ingin masalah yang ada tercapai rasa keadilan dan keamanan bersama agar wilayah Salatiga kondusif. Soal nominal belum ada solusi,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya