SOLOPOS.COM - Puluhan petani di Pundenrejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), melakukan aksi jalan kaki atau “Laku Melaku” hingga puluhan kilometer pada Jumat (31/5/2024). (Dok LBH Semarang).

Solopos.com, PATI – Puluhan petani di Pundenrejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), melakukan aksi jalan kaki atau “Laku Melaku” hingga puluhan kilometer pada Jumat (31/5/2024). Aksi ini, sebagai bentuk protes konflik agraria antara petani Pundenrejo melawan PT Laju Perdana Indah/PG Pakis yang tak kunjung selesai.

Informasi yang diterima Solopos.com, ada 28 petani Pundenrejo yang melakukan aksi dari Pundenrejo sampai ke Kantor Pertanahan Kabupaten Pati. Sepanjang perjalanan, para petani membawa obor sebagai simbol perjuangan yang terus menyala sembari melantunkan selawat dan tembang-tembang perjuangan.

Promosi BRI Bawa Inovasi & Transformasi Digital di Product Development Conference 2024

Kordinator aksi sekaligus anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Dhika, mengatakan Laku Melaku mempunyai makna bahwa keadilan agraria masih jauh dari petani Pundenrejo. Sebab, selama 24 tahun konflik agraria antara petani Pundenrejo melawan PT Laju Perdana Indah/PG Pakis tidak kunjung terselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip kerakyatan.

“Sehingga petani lah yang sampai dengan saat ini tidak dapat kembali menggarap lahan garapannya. Ini adalah bentuk kritik warga kepada penguasa yang seharusnya berpihak kepada petani bukan kepada korporasi,” kata Dhika dalam keterangannya kepada Solopos.com, Jumat (31/5/2024).

Konflik Agraria di Pundenrejo ini, terang Dhika, bermula ketika peristiwa perampasan lahan pada 1965 lalu. Kala itu, sekelompok perintis dari Rumpun Sari Diponogoro melakukan pengusiran terhadap petani yang sedang melakukan aktivitas penggarapan di lahan nenek moyangnya yang terletak di Desa Pundenrejo.

“Pada saat itu petani diancam akan dicap sebagai anggota salah satu partai politik. Hal tersebut [ancaman] membuat petani takut dan tidak berani menggarap lahan,” terangnya.

Kemudian pada 1973-1994, tiba-tiba lahan nenek moyang petani Pundenrejo itu berubah status menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) PT BAPPIPUNDIP dan diperpanjang oleh negara dari 1994-2024. Adapun pada 1999, PT BAPPIPUNDIP bangkrut dan menjual tanah HGB kepada PT Pabrik Pakis.

“Maka sejak 1973 sampai 1999, tanah nenek moyang petani Pundenrejo yang diklaim HGB oleh perusahaan tidak pernah digunakan sebagaimana mestinya yang tertera di dalam izin peruntukan lahan tersebut,” bebernya.

Kendati demikian, pada 1999 karena petani Pundenrejo mempunyai latar belakang sejarah di lahan nenek moyang itu, maka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, para petani Pundenrejo kembali menggarap lahan. Namun, pada 2020 atau ketika Covid-19, PT. LPI/ PG Pakis didampingi aparat kepolisian, TNI dan sekelompok orang tidak dikenal disebut merusak tanaman dan mengusir petani Pundenrejo.

“Pengusiran tersebut membuat petani sampai tahun 2024 tidak lagi dapat menggarap lahan karena di atas lahan ditanami tebu oleh PT Pabrik Gula Pakis/PT LPI,” sebutnya.

Adapun, tuntutan para petani Pundenrejo yakni :

  1. Cabut HGB PT Pabrik Pakis di lahan nenek moyang Petani Pundenrejo yang disalahgunakan.
  2. Tolak segala bentuk izin baru PG Pakis/PT LPI di atas Lahan nenek moyang kami.
  3. Stop segala bentuk aktivitas oleh PG Pakis di atas lahan Nenek Moyang.
  4. Mendorong Kementerian ATR/BPN RI untuk segera mengembalikan tanah nenek moyang petani Pundenrejo yang dirampas PG Pakis/PT LPI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya