SOLOPOS.COM - Ing (kiri) ditemani suami Jay (kanan) mengadukan kasus TPPO yang menimpa anaknya A ke Sekretariat AJI Semarang. Rabu (26/6/2024) (Solopos.com/Fitroh Nurikhsan)

Solopos.com, SEMARANG — Derai air mata warga Tanah Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Ing, 63, tak terbendung ketika menceritakan anaknya A, 36, menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TTPO) di Myanmar.

Pada Rabu (26/6/2024) sore, Ing ditemani suami dan pendamping hukum datang ke Sekretariat AJI Semarang.

Promosi Berkat KUR BRI, Zialova Batik Jadi Produsen Fashion Lokal Favorit di Pekalongan

Perempuan paruh baya itu menceritakan secara detail tentang anak keduanya jadi korban TPPO lalu dipekerjakan juga sebagai scammer atau penipu di Myanmar.

Ing mengungkapkan anaknya sudah satu tahun berada di sana. A bisa menjadi korban perdagangan orang berawal dari modus lowongan kerja yang didapat di media sosial facebook.

Selain menceritakan kasus yang menimpa anaknya. Ing turut membawa secarik surat yang akan dikirim kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat itu berisikan permohonan A bisa diselamatkan dan dipulangkan ke tanah air.

“Anak saya ingin pulang ke Indonesia, saya minta tolong pemerintah, pak presiden, mohon anak saya bisa dipulangkan ke Indonesia dengan selamat,” kata Ing sembari berkaca-kaca.

Ing masih nggak menyangka buah hatinya yang punya keinginan bekerja di luar negeri malah bernasib buruk. Semua A dijanjikan bekerja sebagai admin di perusahaan Islandia Baru.

Namun, A malah dikirim ke Myanmar kemudian dipaksa bekerja sebagai scammer selama 18 jam perhari.

“Saya sudah punya firasat (buruk) tapi anaknya maksa pengen berangkat. Pas sampai sana baru nangis-nangis,” bebernya.

Sementara itu, pendamping korban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Tuti Wijaya, menuturkan di jam-jam tertentu para korban TTPO yang berjumlah 8 orang bisa secara bergantian menghubungi keluarga melalui satu handphone.

“Terakhir kondisi A mulai mengalami gangguan penglihatan karena bekerja di depan laptop selama 18 jam perhari. Bahkan ada korban lain yang mengalami stroke sebelah,” ungkap Tuti.

Delapan korban yang satu kamp dengan A semuanya berasal dari daerah Indonesia seperti Bandung, Bekasi, Singkawang, dan Semarang. Korban TPPO semuanya laki-laki.

Tuti kemudian membeberkan proses perekrutan kasus TTPO tersebut melalui berbagai cara. Yakni modus lowongan pekerjaan, lewat mulut ke mulut dan lain-lainnya.

“Misal mau pulang harus ada pengganti dan minta uang tebusan sebesar Rp150 juta,” bebernya.

Untuk menyelamatkan para korban, Tuti bersama Jaringan Solidaritas Korban Kerja Paksa dan Perbudakan Modern Asia Tenggara sudah melakukan upaya pelaporan ke berbagai instansi seperti Mabes Polri, Komnas HAM, KBRI, hingga Kementrian Luar Negeri.

Pihaknya juga dalam waktu dekat akan segera membuat laporan ke Polda Jawa Tengah agar salah satu warganya yang menjadi korban TTPO bisa dipulangkan ke tanah air.

“Kami tidak mungkin menjemput sendiri korban di zona konflik. Negara harus hadir dan melihat ini sebagai kasus yang urgent. Para korban sudah tinggal di Myanmar kisaran dua tahun,” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya